Jumat, 24 Desember 2010

Rasullah Muhammad SAW

Kelahiran Muhammad
Bangsa Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah, dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin Abdul Mutthalib.
Kelahiran bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh.
Menjadikan berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja, mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Sa’diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Dua tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu. 
Namun keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan di kafilah ini.
Abu Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib dan berkata, “Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di negeri Syam menyakitinya.”
Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.
Muhammad tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia 25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat disegani.
Untuk memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Menikah Dengan Siti Khadijah AS
Dengan usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat, yaitu Fatimah Az-Zahra.
Masa Muda Al-Amin dan Risalah Ilahiyah
Sejak kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki kepribadian agung, jujur, penyantun, gemar menolong mereka yang memerlukan dan berhati besar. Ketinggian akhlak beliau membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quresy di Mekah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu, Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan duniawi.
Pemuda putra Abdullah bin Abdul Mutthalib ini gemar menyendiri di lereng-lereng gunung atau di gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah. Muhammad biasanya pergi ke gua Hira dengan membawa bekal dan akan turun ke kota jika perbekalan habis. Pergi ke gua Hira, menyendiri dan bermunajat di tempat yang sepi itu seorang diri akhirnya menjadi kegiatan rutin pemuda bergelar Al-Amin ini.
Di Hira, Muhammad menemukan ketenangan tersendiri yang tidak ia dapatkan di Mekah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun, saat berada di dalam gua hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun dari Allah swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Tidak sedikit orang yang mempersoalkan mengenai agama Nabi Muhammad SAW sebelum menerima risalah kenabian. Permasalahan mengusik hati ketika menyaksikan bahwa di zaman jahiliyyah, bangsa Arab khususnya di kota Mekah, tempat Rasulullah SAW menjalani kehidupannya, adalah bangsa penyembah berhala. Masing-masing kelompok dan kabilah memiliki berhala tersendiri yang diletakkan di dalam ka’bah atau di komplek masjidul haram. Sementara masing-masing orang memiliki berhala yang khusus yang disimpan di rumah masing-masing atau di kantong khusus agar bisa dibawa ke mana-mana.
Masalah inilah yang lantas melahirkan pertanyaan mengenai agama yang dianut oleh Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi nabi. Masalah kondisi di zaman jahiliyah dan penyembahan berhala yang dianut oleh bangsa Arab secara umum, adalah fakta sejarah yang tidak mungkin ditolak. Namun harus diingat bahwa di jazirah Arabia juga ada agama lain semisal agama Nasrani, Yahudi dan agama Ibrahimi.
Penduduk Najran rata-rata beragama nasrani, sementara di kota Yasrib, nama lain kota madinah, terdapat beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi. Selain dua agama itu, tidak sedikit pula yang menganut ajaran Nabi Ibrahim as. Agama Ibrahimi ini dianut oleh sebagian besar bani Hasyim. Bukankah ketika Abdul-Muththalib menamakan anaknya dengan nama Abdullah yang berarti hamba Allah, menunjukkan bahwa tuhan yang sebenarnya di mata Abdul Mutthalib adalah Allah, bukan selain-Nya.
Ketika Allah mengangkatnya menjadi nabi dan utusan-Nya, Muhammad mengatakan kepada umat bahwa dia membawa ajaran Ibrahim. Seruan ini dikarenakan umat mengenal akan keberadaan ajaran yang demikian. Amalan ibadah seperti haji, umrah dan semisalnya yang juga dianut oleh bangsa Arab Jahiliyyah merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim as yang terus dijalankan meski dengan cara yang berbeda dengan ajaran sebenarnya. Semua ini menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab di zaman itu menyembah berhala. Jika hal ini bisa diterima, muncul pertanyaan;
Masuk akalkah, orang yang bakal membawa ajaran agama ilahi yang paling sempurna, tetapi tidak mengikuti ajaran Ibrahim dan terjerumus ke dalam kesyirikan penyembahan berhala?
Jika Muhammad pernah menyembah berhala, tentunya, saat beliau menyeru kaum Quresy dan bangsa Arab untuk meninggalkan berhala, mereka akan mengingatkan bahwa dia sendiri pernah menyembah berhala. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya rasulullah, apakah engkau pernah menyembah berhala?”
Beliau menjawab, “Sama sekali tidak.”
“Apakah engkau pernah meminum khamar?”
beliau juga menjawab, “Sama sekali tidak pernah.”
Dengan turunnya firman ilahi kepadanya dan turunnya perintah untuk mengajak kaumnya kepada penyembahan tuhan yang maha esa, Nabi Muhammad SAW menyampaikan misi mulia dan agung ini kepada sanak keluarganya. Orang yang pertama-tama menerima ajakan ini adalah Khadijah istri setia Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib yang hidup dalam bimbingan dan asuhan beliau. Ajakan dan seruan Nabi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan kepada keluarga dekatnya.
Proses dakwah secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun, sampai akhirnya Allah swt menurunkan ayat yang berisi perintah untuk secara terbuka menyampaikan risalah ilahi ini kepada umat.
Dengan berdiri di atas sebuah bukit, Rasulullah SAW bertanya kepada kaumnya, “Wahai sekalian suku Quresy, jika akan katakan bahwa di belakang bukit ini ada pasukan musuh yang datang menyerang, apakah kalian akan mempercayai kata-kataku?”
Mereka menjawab, “Ya, pasti, sebab engkau adalah orang yang paling jujur.”
Rasulullah berkata lagi, “Jika demikian, ketahuilah bahwa aku membawa risalah dan ajaran dari Tuhan untuk kalian semua.” Rasulullah menjelaskan risalah yang beliau pikul kepada kaum Quresy. Akan tetapi berbeda dengan pernyataan awal mengenai kejujuran Muhammad Al-Amin, kali ini kaum Quresy yang dimotori oleh para pemukanya yang kafir semisal Abu Sufyan, Abu Jahal dan lainnya menuduh putra Abdullah ini telah membuat kebohongan besar.
Sejak saat itulah, dakwah kepada agama Islam dilakukan secara terbuka. Seiring dengan sambutan orang-orang yang berhati bersih kepada ajaran ini, sikap penentangan dan permusuhan kaum kafir terhadap ajaran ilahi ini juga semakin meningkat. Para pemuka Quresy yang merasa posisi dan kedudukan mereka terancam dengan adanya ajaran ilahi ini, serta merta megambil sikap frontal terhadap Muhammad, para pengikut dan ajarannya. Dengan memanfaatkan kedudukan, uang dan kekuatan, kaum kafir melakukan penyiksaan terhadap para pengikut ajaran islam.
Bilal bin Rabbah bekas budak Umayyah bin Khalaf, juga Yasir, istrinya Sumayyah dan anaknya Ammar adalah contoh dari kaum muslimin lemah yang menjadi korban penyiksaan. Bahkan Sumayyah dan Yasir gugur syahid setelah menjalani penyiksaan kaum kafir Quresy yang tidak mengenal batas kemanusiaan. Sementara Ammar terpaksa mengeluarkan kata-kata syirik dari mulutnya meski hatinya tetap memegang teguh keimanan.
Gangguan kaum kafir Quresy tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi juga kepada pemimpin dan nabi pembawa risalah, Muhammad bin Abdillah SAW. Hanya saja, gangguan itu seberapa karena sikap Abu Thalib yang mati-matian membela Muhammad dan ajarannya. Bagaimanapun juga, Abu Thalib adalah figur yang sangat dihormati oleh kaum Quresy di Mekah. Berkali-kali para pembesar Quresy mendatangi Abu Thalib agar menghentikan aktifitas dakwah Muhammad yang menistakan berhala dan mengajak masyarakat kepada Tuhan yang esa. Meski demikian, Abu Thalib tetap pada pendiriannya untuk membela Muhammad dan ajarannya. Sikap Abu Thalib ini telah menyulut kemarahan para pembesar Quresy yang lantas memutuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan para pengikut ajaran Islam.
Pada pembahasan yang lalu telah disinggung bahwa kaum muslimin di kota Mekah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan budak atau orang-orang yang memiliki kedudukan sosial rendah, mendapat perlakuan buruk dari kaum kafir Quresy. Tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan ada pula yang dibunuh. Kondisi ini sangat menyulitkan umat Islam. Akhirnya, untuk melepaskan diri dari penderitaan dan untuk menjaga agar umat yang baru terbentuk tidak bisa dihancurkan, Rasulullah SAW memerintahkan sekelompok umatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah yang saat itu dipimpin oleh raja Najasyi.
Kelompok muhajirin ke Habasyah dipimpin oleh Ja’far putra Abu Thalib. Kepergian Ja’far dan rombongannya yang berjumlah kurang lebih delapan puluh orang ke Habasyah membuat berang kaum kafir Mekah. Merekapun mengirimkan utusan kepada raja Najasyi untuk menolak kehadiran kaum muslimin di negerinya. Permintaan Quresy tidak langsung dikabulkan oleh Najasyi. Raja yang beragama nasrani ini lantas memanggil Ja’far dan rombongannya ke istana.
Di tempat inilah dan di hadapan raja beserta para penasehat agamanya, Ja’far menjelaskan maksud kedatangannya ke Habasyah. Putra Abu Thalib ini dengan tegas mengatakan bahwa dia dan rombongannya, bukanlah budak yang lari dari tuannya atau pembunuh yang lari dari tebusan darah. Mereka lari dari Mekah hanya untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan tekanan yang dilakukan para pemuka Quresy terhadap mereka. Mereka dianggap layak mendapat perlakuan buruk karena telah menyembah Tuhan yang Esa dan menolak sujud kepada berhala.
Penjelasan Ja’far bin Abi Thalib berhasil mematahkan makar utusan Quresy. Raja Najasyi memerintahkan untuk mengembalikan semua hadiah yang dikirim Quresy kepadanya. Utusan Mekah-pun meninggalkan negeri Habasyah. Untuk kaum muhajirin ini, Najasyi memberikan izin tinggal di negerinya dengan aman dan damai sampai kapanpun juga.
Pemboikotan Terhadap Bani Hasyim
Di Mekah, kaum kafir Quresy semakin kalap, kala menyaksikan jumlah mereka yang masuk agama Islam semakin bertambah. Pembesar-pembesar Mekah semisal Hamzah bin Abdul Mutthalib juga telah mengumumkan keislamannya. Hal ini membuat para pemuka Quresy berpikir untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi membunuh Muhammad tidaklah mudah. Sebab, bagaimanapun juga, bani Hasyim yang termasuk kelompok bangsawan Quresy tidak akan setuju.
Quresy membujuk Abu Thalib yang dipandang sebagai pelindung utama Rasulullah agar bersedia menerima uang tebusan dua kali lipat dari tebusan biasa, dan membiarkan Muhammad dibunuh. Pembunuhnya akan dipilih dari orang di luar Quresy. Dengan demikian, pembunuhan atas diri Muhammad tidak akan berbuntut pada perang saudara di Mekah. Usulan tersebut dipandang Abu Thalib sebagai tanda keseriusan Quresy untuk membunuh Nabi. Akhirnya Abu Thalib memanggil seluruh anggota keluarga bani Hasyim agar berkumpul di lembah Abu Thalib untuk melindungi Muhammad dari upaya teror yang direncanakan Quresy terhadapnya.
Bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, kaum kafir Quresy menyusun sebuah perjanjian yang berisi pemboikotan terhadap bani Hasyim. Berdasarkan perjanjian ini, segala bentuk jual beli, pernikahan dan hubungan dengan bani Hasyim dilarang. Pemboikotan ini telah menyebabkan bani Hasyim yang berada di lembah atau syi’b Abu Thalib kesulitan mendapatkan bahan pangan dan keperluan hidup lainnya.
Pemboikotan ini dimaksudkan untuk memaksa bani Hasyim khususnya Abu Thalib, agar bersedia menyerahkan Muhammad kepada Quresy untuk dibunuh. Tekad mereka untuk menghabisi nabi terakhir ini, sedemikian kuat sehingga Abu Thalib memperkuat penjagaan atas diri Rasulullah. Di malam hari, Abu Thalib memerintahkan salah seorang dari bani Hasyim untuk tidur di pembaringan Rasulullah, demi menjaga keselamatan Nabi bergelar Al-Amin ini.
Kondisi serba sulit ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itulah, mereka yang berada di dalam syi’b bergelut dengan rasa lapar dan keterasingan. Pekik tangis anak-anak bayi dari keluarga bani Hasyim yang kelaparan terkadang terdengar sampai ke luar lembah itu. Bagi sebagian orang Quresy, keadaan ini sungguh menyiksa batin mereka. Karena itu, mereka sepakat untuk mencabut boikot atas bani Hasyim.
'Tahun Kesedihan ('Amul Huzn )
Tahun sepuluh kenabian, setelah bani Hasyim keluar dari syib Abu Thalib dan terlepas dari pemboikotan, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, paman dan istri Nabi yang selama ini menjadi pelindung dan pembela risalah kenabian, meninggal dunia. Wafatnya kedua manusia agung ini menjadi pukulan berat bagi Nabi. Betapa tidak, di saat kaum Quresy berniat membunuh beliau, Abu Thalib siap berkorban untuk melindungi Rasulullah. Di saat kaum kafir memboikot Nabi secara ekonomi, Khadijah menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Tahun 10 kenabian disebut oleh Rasulullah sebagai ‘amul huzn yang berarti tahun kesedihan karena kepergian dua insan pembela risalah kenabian.
Setelah Abu Thalib dan Khadijah wafat, dan setelah menyaksikan penentangan kaum Quresy, Nabi SAW pergi ke kota Thaif untuk mengajak warga di kota itu kepada agama Islam. Tetapi warga Thaif menyambut Nabi dengan lemparan batu dan cacian. Akibat kekurangajaran warga Thaif, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan meminta izin untuk menghukum mereka. Tetapi nabi yang oleh Allah disebut sebagai orang yang penyayang ini menolak sambial mengatakan, “Ya Allah ampunilah kaumnya, karena mereka tidak mengetahui kebenaran yang aku bawa.”
Keislaman Aus dan Khazraj
Setelah kembali ke kota Mekah, Nabi memfokuskan dakwahnya kepada suku-suku Arab lainnya yang berdatangan ke kota itu untuk melaksanakan ibadah haji. Dari situlah, beliau berkenalan dengan orang-orang Aus dan Khazraj, penduduk kota Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di Yatsrib, suku Aus dan Khazraj merupakan musuh bebuyutan yang sejak lama terlibat perang saudara. Di kota itu, hidup pula suku-suku beragama Yahudi yang sering mengabarkan kepada mereka akan kedatangan Nabi di akhir zaman.
Setelah berkenalan dengan Nabi Muhammad SAW dan ajara yang dibawanya, orang-orang dari Aus dan Khazraj menyatakan ikrar keimanan kepada beliau. Mereka bahkan mengingat janji dan baiat dengan Nabi. Orang-orang Aus dan Khazraj yang telah menemukan seorang pemimpin yang dapat mengakhiri permusuhan di antara mereka, menawarkan kepada Rasulullah SAW agar beliau bersedia berhijrah ke kota mereka.
Sesuai dengan tawaran itu, dan dengan perintah Allah swt, Rasul SAW memerintahkan kaum muslimin Mekah untuk berhijrah ke Madinah. Rombongan demi rombongan kaum muslimin Mekah bergerak ke arah Yastrib. Gelombang hijrah ini terus berlanjut dan berpuncak pada hijrah Nabi ke kota itu.
Hijrah yang berarti perpindahan dianggap sebagai salah satu ibadah dengan nilai pahala yang tinggi. Dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah swt menjelaskan kemuliaan ibadah ini dan menjanjikan ganjaran yang berlipat ganda kepada mereka yang berhijrah. Sebab, selain kesulitan yang dihadapi seorang muhajir baik kesulitan karena meninggalkan negeri asal, kesulitan di negara baru dan banyak hal lain, hijrah juga dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara agama dan risalah ilahi yang terakhir ini.
Di negeri yang baru, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah membangun masjid yang merupakan pusat kegiatan Islam dan pemersatu umat. Masjid pertama yang dibangun di Madinah adalah masjid Quba’ yang oleh Allah disebut sebagai masjid yang dibangun di atas pondasi ketaqwaan. Pembangunan masjid ini dilakukan oleh seluruh umat Islam baik penduduk asli maupun pendatang. Rasul-pun ikut ambil bagian dalam membangun masjid Quba’.
Langkah berikutnya yang dilakukan Nabi adalah memupuk persaudaraan di antara kaum muslimin. Beliau memerintahkan masing-masing sahabat untuk memilih orang yang akan dijadikan sebagai saudara. Sementara beliau sendiri memilih Ali bin Abi Thalib sebagai saudaranya. Dengan demikian, terciptalah suasana persaudaraan yang kuat di tengah umat Islam pada hari-hari pertama kehadiran Rasulullah SAW di Madinah.
Berikutnya untuk melindungi Madinah dari ancaman yang mungkin datang dari umat lain, Rasulullah SAW mengadakan perjanjian damai dengan umat Yahudi yang berada di sekitar kota Madinah. Sebagaimana yang telah disinggung, suku Aus dan Khazraj sering mendengar janji kedatangan Nabi akhir zaman dari umat Yahudi yang hidup di dekat mereka. Ada tiga kabilah besar Yahudi di Madinah, yaitu, Bani Nadhir, Bani Qainuqa dan Bani Quraidhah. Dengan ketiga kelompok ini, Rasulullah SAW mengikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu.
Setelah langka-langkah awal diambil Rasulullah SAW menyibukkan diri dengan membimbing umat kepada ajaran yang diterimanya dari Allah swt. Di kota inilah, beliau mendapatkan wahyu-wahyu yang menjelaskan hukum-hukum syariat secara lebih luas. Wahyu inilah yang kemudian diajarkan Nabi SAW kepada umatnya.
Sementara itu, dengan kepergian Nabi ke Madinah, permusuhan kaum kafir Quresy kepada umat Islam masih belum reda. Penyiksaan dan gangguan mereka kepada kaum muslimin yang masih berada di Mekah dan tidak dapat keluar dari kota itu semakin menjadi. Di lain pihak harta benda yang ditinggalkan oleh mereka yang telah berhijrah ke Madinah dirampas oleh Quresy. Hal inilah yang mendasari perintah Rasulullah SAW untuk mencegat kafilah dagang Quresy yang melintas dekat Madinah dalam perjalanan perniagaan menuju Syam atau dari Syam menuju Mekah.
Tahun kedua hijriyah, Rasulullah SAW bersama 313 sahabatnya bergerak menuju Badr untuk mencegat kafilah Quresy yang membawa harta berlimpah hasil dari perniagaan di Syam. Setelah mendengar berita itu, Abu Sufyan, yang memimpin kafilah ini, mengirimkan utusannya ke Mekah untuk meminta bantuan tentara Quresy dalam menghadapi ancaman ini.
Bagi Quresy, pencegatan kafilahnya oleh kaum muslimin tidak hanya berarti kerugian harta tetap juga kehormatan suku besar di Mekah ini. Untuk itu, Abu Jahl yang merupakan salah satu bangsawan terkemuka Quresy bersama seribu orang lengkap dengan peralatan perang meninggalkan kota Mekah dan bergerak menuju Badr. Sementara kafilah pimpinan Abu Sufyan dengan melintasi jalan alternatif berhasil lolos dari sergapan kaum muslimin. Abu Sufyan mengirimakn kurirnya untuk meminta Abu Jahl kembali kep mekah karena bahaya telah berlalu. Namun pesan itu ditolaknya. Abu Jahl bersikeras untuk berhadapan dan terlibat perang dengan pasukan Madinah. Ia berpikir, dengan demikian, umat Islam akan jera atau bahkan terhabisi.
Di Badr, pasukan muslimin yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW telah bersiap siaga. Pasukan kecil berjumlah 313 orang dan peralatan yang ala kadarnya, siap menghadapi seribu orang di barisan Quresy yang bersenjata lengkap. Namun keimanan yang dimiliki oleh umat Islam lah yang menjadi mesin pendorong mereka untuk tegar dan siap menanti kematian di jalan Allah yang basalannya adalah surga.
Tanggal 17 Ramadhan tahun kedua hijriyah, perang di Badr berkecamuk setelah diawali dengan duel satu lawan satu antara tiga jawara dari dua barisan. Satu demi satu korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Darah bersimbah di sana sini. Tak lama, berita tersebar bahwa Abu Jahl yang oleh Rasul disebut sebagai Firaun di tengah umat ini tewas di tangan pasukan muslimin. Terbunuhnya Abu Jahal dan beberapa pemuka Quresy di medan perang Badr menjadi pukulan berat bagi pasukan Mekah yang akhirnya memilih untuk melarikan diri.
Dalam perang Badr, pasukan Quresy menderita kerugian tujuh puluh tewas dan tujuh lainnya tertawan. Sementara barang rampasan perang yang ditinggalkan tidak sedikit. Diperkirakan sekitar 150 unta, sepuluh kuda, sejumlah kulit dan kain, serta peralatan perang ditinggalkan oleh pasukan Mekah yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri.
Kekalahan Quresy dalam perang Badr menjadi pukulan berat bagi mereka. Betapa tidak, Muhammad dan pengikutnya yang belum lama ini menjadi bulan-bulanan tekanan dan penyiksaan kini telah memiliki kekuatan yang dapat melumpuhkan pasukan Quresy. Untuk itu, para pemuka Mekah merencanakan tindakan balas dendam. Akhirnya diputuskan, bahwa Quresy akan menyerang kaum muslimin di Madinah dengan segenap kekuatan yang ada. Maka dibuatlah persiapan yang matang. Setiap keluarga dari Quresy khususnya, mereka yang salah satu anggoatanya terbunuh di perang Badr dikenai kewajiban untuk mendanai perang besar ini.
Setelah segala sesuatunya dirasa matang, pasukan Quresy yang berjumlah 3.000 orang dengan senjata lengkap bergerak ke arah Madinah. Berita bergeraknya pasukan Quresy ke arah Madinah sampai ke telinga Rasul. Beliau lantas mengumpulkan para sahabatnya dan bermusyawarah dengan mereka. Beliau menanyakan pendapat mereka, apakah kaum kafir akan dihadapi di dalam Madinah atau di luar Madinah? Mereka yang lebih muda dan tidak hadir di perang Badr mengusulkan untuk menghadang pasukan Mekah di luar Madinah. Pendapat inilah yang lantas disahkan.
Kaum muslimin yang berjumah sekitar 1000 orang bergerak ke luar kota Madinah. Namun di tengah jalan sebanyak 300 orang termakan oleh tipu daya si munafik Abdullah bin Ubay, dan berpisah dari barisan Rasulullah. Sesampainya di kawasan gunung Uhud, Rasul memerintahkan 50 orang sahabtanya untuk mengambil posisi di bukit Ainain yang kemudian berubah nama menajdi Jabal Rumath atau gunung pemanah. Kepada mereka, beliau berpesan untuk tidak meninggalkan bukit itu, menang atau kalah.
Perang berkecamuk. Pada awalnya, pasukan muslimin berhasil memukul mundur tentara Mekah. Di saat tentara kafir meningggalkan medan, para pemanah turun dari bukit untuk mengumpulkan rampasan perang. Imbauan Abdullah bin Jubair yang menjadi komandan para pemanah kepada anak buahnya untuk kembali ke posisi asal mereka tidak digubris. Kekosongan ini dimanfaatkan pasukan berkuda Quresy untuk menyerang di balik bukit. Melihat keadaan ini pasukan kafir yang asalnya melarikan diri, kembali ke medan perang. Dengan demikian, posisi kaum muslimin terjepit. 
Barisan yang asalnya teratur dan mengendalikan jalannya pertempuran kini tercabik-cabik. Tidak sedikit pejuang muslim yang lari menuju Madinah, setelah isu terbunuhnya Nabi tersebar di tengah medan. Hanya sekelompok kecil yang terus bertahan dan bertarung habis-habisan. Ketangkasan Ali dan keberaniannya dipuji oleh para malaikat. Terdengar suara yang memuji Ali dan pedangnya yang bernama Dzul fiqar, ‘La Fata Illa Ali La Saifa illa Dzulfiqar’, tidak ada yang jantan seperti Ali dan tidak ada pedang seperti Dzul Fiqar.
Sebanyak tujuh puluh orang dari barisan muslimin termasuk paman Nabi, Hamzah bin Abdul Mutthalib, gugur syahid dalam perang ini. Nabi sendiri mengalami luka yang cukup serius. Namun berkat kepemimpinan putra Abdullah ini, kaum muslimin kembali berhasil memegang kendali peperangan setelah merapikan barisan. Menyaksikan hal itu, Abu Sufyan memerintahkan kepada pasukan kafir Quresy untuk menghentikan perang dan kembali ke Mekah. Dengan demikian berakhirlah perang Uhud.
Setelah terjadinya perang Uhud yang merupakan pembalasan dendam suku Quresy atas kekalahan telaknya pada perang Badr, kekuatan kaum muslimin di Madinah mulai diperhitungkan. Munculnya kekuatan baru yang membawa simbol keagamaan baru dirasa oleh banyak suku Arab sebagai ancaman yang serius. Untuk itu, ketika Abu Sufyan meminta dukungan dana dan tentara dari suku-suku tersebut untuk memerangi Madinah dan menghancurkan kaum muslimin, segera terkumpul pasukan dan dana yang besar.
Pada tahun kelima hijriyah, sekelompok orang Yahudi datang ke Mekah untuk memprovokasi kaum kafir Quresy agar menyerang kaum muslimin di Madinah. Untuk memperkuat pasukan, Quresy meminta bantuan suku-suku Arab lainnya yang memendam permusuhan dengan Rasulullah SAW. Dalam perang ini, Quresy juga meminta bantuan suku-suku Arab yang memiliki perjanjian militer dengannya. Akhirnya, Abu Sufyan berhasil menghimpun kekuatan sebesar 10 ribu tentara. Jumlah ini dipandang amat besar untuk menyerang sebuah kota yang jumlah penduduknya baik laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang lanjut usia, hanya sekitar 10 ribu orang.
Ketika berita rencana serangan pasukan besar yang dikenal dengan Ahzab ini sampai ke telinga Rasulullah SAW, beliau mengumpulkan para sahabatnya untuk meminta pendapat mereka. Pada saat itu, Salman Al-Farisi, sahabat Nabi yang berasal dari negeri Persia mengatakan, bahwa orang-orang di negerinya biasa menggali parit ketika mengkhawatirkan serangan musuh. Pendapat ini akhirnya disetujui oleh Nabi SAW.
Rasul memerintahkan para sahabatnya untuk menggali parit di sepanjang wilayah utara kota Madinah. Sebab, daerah utaralah satu-satunya pintu yang mudah untuk memasuki kota Madinah, mengingat bukit-bukit bebatuan yang membentengi kawasan timur dan barat kota ini sehingga musuh tidak mungkin menyerang dari sana. Bukit-bukit itu juga relatif menutupi kawasan selatan kota Madinah, meski tetap meninggalkan celah-celah kecil.
Selama enam hari, seluruh kaum muslimin termasuk pemimpin mereka, yaitu Rasulullah SAW bahu membahu menggali parit. Setelah parit siap, pasukan kaum muslimin mengambil posisi pertahanan di dalam kota Madinah. Dan pasukan pemanah juga telah siap di posisi masing-masing.
Di saat seperti itu, Yahudi bani Quraidhah yang tinggal di Madinah merobek isi perjanjian damai dengan Rasulullah. Tidak hanya itu, mereka juga bersiap-siap melakukan pengkhianatan dan membantu pasukan Ahzab untuk menghabisi kaum muslimin. Akibatnya, umat Islam menghadapi musuh yang besar di luar dan musuh di dalam.
Pasukan kafir terperangah ketika menyaksikan bentangan parit yang menghalangi gerak maju mereka. Bangsa Arab saat itu tidak mengenal strategi pertahanan dengan membuat parit. Di luar parit pasukan Ahzab mendirikan kemah. Beberapa kali pasukan berkuda Ahzab berusaha menyeberang parit, namun usaha mereka gagal setelah pasukan muslimin menghalau mereka dengan hujan anak panah.
Suatu ketika, beberapa jawara Ahzab termasuk Amr bin Abdi Wad berhasil menyebrangi parit melalui bagian yang relatif sempit. Di sanalah, Amr dengan congkaknya menantang siapa saja yang berani untuk bertarung dengannya. Hanya Ali bin Abi Thalib yang menjawab tantangan itu, karena Amr bin Abdi Wad dikenal sebagai pahlawan Arab yang keberaniannya paling kesohor. Nabi SAW melilitkan serbannya di kepala Ali dan mendoakannya.
Ali yang mewakili kaum muslimin kini berhadap-hadapan dengan Amr yang mewakili kubu kaum kafir. Debu-debu beterbangan dan serunya pertarungan itu hanya bisa didengar dari dentingan suara pedang. Semua menantikan hasil pertarungan itu dengan hati berdebar-debar. Tak lama kemudian terdengar pekik takbir Ali yang menandakan terbunuhnya Amr di tangan pahlawan muslim ini. Kemenangan Ali atas Amr dipuji oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya. Beliau bersabda, pukulan Ali pada perang parit lebih mulia dari ibadah seluruh manusia dan jin.
Kekalahan Amr telah menebar kekecewaan dan keputus-asaan di hati kaum kafir. Bertiupnya badai yang memporakporandakan perkemahan mereka dan minimnya persediaan rumput untuk binatang ternak dan kuda-kuda mereka telah mengendurkan tekad untuk menyerang kota Madinah. Akhirnya Abu Sufyan yang menjadi komandan pasukan Ahzab memerintahkan untuk berkemas dan kembali ke Mekah.
Kisah perang Ahzab secara cukup detail diceritakan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, ada tiga kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Mereka adalah kabilah Bani Qainuqa, bani Nadhir dan Bani Quraidhah. Dengan mereka inilah Nabi SAW mengikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu. Perjanjian ini dibuat untuk menciptakan suasana damai di Madinah antar beberapa kelompok untuk bisa hidup berdampingan dengan damai.
Namun ketiga kabilah Yahudi tersebut akhirnya melakukan pengkhianatan dan pelanggaran terhadap kesepakatan. Kabilah Bani Qainuqa dan kabilah bani Nadhir diusir dari Madinah kerena pengkhianatan mereka. Sedangkan bani Quraidhah mendapatkan hukuman yang lebih berat karena pengkhianatan mereka yang amat besar. Seperti yang telah dijelaskan tadi, di saat kaum muslimin Madinah menghadapi ancaman serangan pasukan Ahzab yang berjumlah sepuluh ribu orang, Yahudi bani Quraidhah merobek isi perjanjian damai mereka dengan Rasulullah.
Pengkhianatan yang dilakukan oleh kelompok sedemikian besar sehingga mengancam keamanan seluruh Madinah. Setelah berakhirnya perang Ahzab atau perang Khandaq yang diwarnai dengan kepulangan pasukan kafir ke negeri masing-masing, Allah swt memerintahkan Nabi-Nya untuk mengepung dan menyerang bani Quraidhah. Dengan posisi yang terjepit dan mental yang telah melemah karena kepergian pasukan Ahzab, bani Quraidhah menyerah di tangan Nabi SAW.
Nabi SAW memberikan wewenang kepada Saad bin Mu’adz, pemimpin Aus yang dulu sekutu dekat kelompok ini, untuk memutuskan hukuman apa yang akan dijatuhkan terhadap bani Quraidhah. Saad memutuskan untuk memenggal kepala orang-orang lelaki dari kelompok ini dan menawan anak kecil dan kaum wanitanya. Vonis ini disebut oleh Rasulullah sebagai vonis ilahi.
Setelah tentara muslimin berhasil menundukkan kekuatan kaum Yahudi di Kheibar, dan setelah keamanan dan stabilitas berhasil ditegakkan di Hijaz, maka Rasul Allah saaw berpikir untuk memusatkan dakwahnya kepada penduduk di kawasan-kawasan perbatasan dengan Syam. Untuk itu Rasul Allah saaw mengutus salah seorang sahabat, bernama Harits bin Umair Al-Azdi, dengan membawa sepucuk surat untuk diserahkan kepada pemimpin Ghasasinah, bernama Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani. Akan tetapi, setelah menerima dan membaca surat Rasul Allah, pemimpin Ghasasinah ini menangkap dan membunuh utusan Nabi di suatu tempat bernama Mu’tah. Perbuatan membunuh utusan ini dianggap sebagai pelanggaran besar terahdap peraturan yang berlaku saat itu, yang melarang membunuh utusan yang datang dari pihak musuh sekalipun. Hal ini membuat Nabi marah dan beliau memutuskan akan menghukum pembunuh utusan beliau.
Selain itu, sebelumnya pun Rasul Allah saaw telah mengutus 15 orang dari sahabat beliau ke kawasan Syam, untuk mengajak penduduk negeri itu kepada Islam. Akan tetapi penduduk setempat menangkap mereka semua. Kemudian terjadi perlawanan dan pertempuran diantara mereka. Oleh karena kekuatan yang sangat tidak seimbang, maka semua sahabat Nabi tersebut gugur syahid, kecuali satu orang yang terluka dan berhasil kembali kepda Nabi di Madinah dan memberitakan peristiwa tersebut.
Dua peristiwa tersebut telah menciptakan kondisi politik yang panas diantara kedua belah pihak. Kemudian pada bulan Jumadil Awal, Rasul Allah saaw memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad, dan beliau mengutus tentara berjumlah 3000 orang. Rasul Allah saaw menunjuk Ja’far bin Abitalib sebagai panglima perang, dengan catatan, jika ia gugur, maka Zaid bin Harits, menggantikannya. Jika Zaid gugur pula, maka Abdyullah bin Rawwahah menggantikannya. Jika Abdullah juga gugur, maka mereka harus mengambil kesepakatan untuk mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai panglima. Rasul Allah saaw pun menyempatkan diri untuk menghantarkan mereka dan mengucapkan selamat jalan kepada tentara muslimin tersebut, seraya mendoakan : Semoga Allah membela kalian, dan mengembalikan kalian dalam keadaan selamat, dan dengan kemenangan.
Di Syam, Al-Harits bin Abi Syimr Al-Ghassani, yang berkuasa di Bashro, telah mempersiapkan pasukan berjumlah 100.000 orang untuk menahan langkah maju tentara muslimin. Sementara itu, Kaisar Syam sendiri juga mempersiapkan 100.000 tentara untuk berjaga-jaga, dan akan turun ke medan pertempuran jika diperlukan.
Sebagaimana diketahui, saat itu Syam dikuasi oleh kekaisaran Romawi, dan ada beberapa penguasa Arab yang dijajah dan menyatakan tunduk kepada kaisar Romawi. Mereka ini adalah negara-negara blok Romawi. Sebagaimana di zaman kita ini kita mengenal ada blok barat dan blok timur, maka saat itu pun ada blok Romawi dan blok Persia. Negeri Syam yang merupakan blok Romawi tentu didukung oleh kekuatan Romawi.
Kekuatan dua pasukan yang akan bertempur ini jelas tidak seimbang. Peperangan pun berlangsung selama beberapa hari. Di pihak muslimin, satu persatu panglima tentaranya gugur. Mulai dari Ja’far, Zaid dan Abdullah bin Rawahah. Kemudian pasukan muslimin sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai penglima. Khalid pun menyusun taktik perang yang tidak dikenal sebelumnya. Ia membagi tentara muslimin menjadi dua bagian. Bagian pertama tetap berada di garis peperangan, sedangkan bagian kedua diminta untuk memisah dan menempatkan diri di jarak yang cukup jauh. Semua itu dilakukan di malam hari dan dengan kerahasiaan yang ketat. Pasukan yang kedua ini diminta untuk bergabung dengan pasukan pertama yang berada di medan perang, di pagi hari begitu peperangan telah dimulai lagi.
Maka persis sebagaimana yang tekah diatur, ketika besok paginya perang berkobar lagi antara pasukan muslimin yang bertahan di medan perang dengan pasukan musuh dari Syam, pasukan muslimin yang tadi malam memisahkan diri di suatu tempat, berdatangan untuk bergabung. Pasukan musuh menyangka bahwa yang datang itu adalah bala bantuan baru dari Madinah, yang menambah jumlah pasukan muslimin. Hal itu menyebabkan pasukan musuh kehilangan nyali, sehingga pasukan muslimin kemudian berhasil mengalahkan mereka dan kembali ke Madinah dengan kemenangan.
Rasul Allah saaw sangat sedih ketika mendengar bahwa Ja’far bin Abi Thalib gugur di medang perang Mu’tah. Dan tiap kali mengingat peristiwa tersebut beliau menangis. Dalam sejarah disebutkan bahwa kedua tangan Ja’far terpotong oleh pedang musuh, sebelum kemudian beliau gugur syahid. Rasul Allah saaw mengatakan bahwa Ja’far mendapat hadiah berupa dua sayap yang membuatnya dapat terbang di surga. Untuk itulah kemudian Rasul Allah saaw menjulukinya dengan “Ja’far At-Thayyar” yang artinya kira-kira “Ja’far yang Terbang”.
Selain itu, Rasul Allah saaw, tentu saja atas perintah Allah swt, juga memberikan hadiah sebagai cara untuk mengenang Ja’far At-Thayyar, dengan mensyareatkan suatu amalan sunnah berupa salat, yang dinamai sebagai salat Ja’far At-Thayyar. Salat ini dikenal di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah dengan nama salat Tasbih. Meskipun di kalangan Syiah saja salat ini dikenal dengan nama salat Ja’far, akan tetapi ia dilakukan bukan untuk Ja’far At-Thayyar. Namanya saja salat Ja’far, tetapi fadlilah, keutamanan dan pahalanya yang sangat besar, adalah bagi siapa saja yang melakukannya.
Pelanggaran Perjanjian Hudaibiyah oleh Kaum Qureisy
Sebagaimana Anda ketahui, Rasul Allah saaw pernah menjalin perjanjian damai dengan kaum musyrikin Quraisy yang dikenal dengan nama Perjanjian Hudaibiyah. Isi terpenting dari perjanjian tersebut ialah bahwa kedua belah tidak akan saling memerangi baik langsung mapun tidak langsung.
Akan tetapi kaum Quraisy, melanggar perjanjian Hudaibiyah ini ketika mereka memasok kabilah Bani Bakr dengan senjata perang. Kaum Qureisy mendorong Bani Bakr dari suku Kinanah yang bersahabat dengannya ini untuk menyerang Khuza’ah yang bersahabat dengan muslimin. Maka Bani Bakr pun menyerang Bani Khuza’ah pada malam hari. Mereka membunuh sejumlah mereka dan menyandera sejumlah lainnya. Rasul Allah saaw mendengar tentang perbuatan Bani Bakr terhadap Bani Khuza’ah yang mendapat dukungan dari Qureisy. Rasul pun berjanji akan menolong Bani Khuza’ah.
Akan tetapi kaum Qureisy menyesali pelanggaran yang mereka lakukan, yaitu mempersenjatai Bani Bakr dan mendorongnya untuk memerangi Khuza’ah. Mereka pun mengirim salah seorang tokoh mereka yaitu Abu Sufyan ke Madinah untuk menjumpai Nabi saaw dan meminta maaf sekaligus menekankan komitmen mereka terhadap perjanjian damai yang telah mereka buat di Hudaibiyah. Mula-mula Abu Sufyan mendatangi rumah putrinya, Ummu Habibah, salah seorang istri Rasul Allah saaw.
Akan tetapi ia tidak mendapat penghormatan yang semestinya dari putrinya ini, melihat bahwa Abu Sufyan adalah seorang musyrik dan najis. Kemudian Abu Sufyan pergi langsung menemui Nabi saaw, dan berbicara kepada beliau tentang kemungkinan memperbarui pernajnian damai. Akan tetapi Rasul Allah saaw tidak memberikan jawaban apa pun kepadanya, yang menunjukkan bahwa beliau tidak menaruh perhatian kepada Abu Sufyan dan misi yang dibawanya.
Abu Sufyan masih belum berputus asa, dan pergi menemui beberapa sahabat Nabi saaw untuk menolongnya menyampiakan misi yang ia bawa kepada Nabi, yaitu membuat perjanjian damai baru. Akan tetapi para sahabat pun tidak memberikan jawaban. Kemudian Abu Sufyan pergi ke rumah Imam Ali dan Sayidah Fatimah as, menyampaikan permohonan agar mereka bersedia membantunya untuk berbicara dengan Rasul Allah saaw. Imam Ali as menjawab, “Demi Allah, Rasul Allah saaw telah mengambil keputusan dimana tak ada satu pun dari kami yang dapat memintanya untuk mengubah keputusan tersebut.”
Abu Sufyan pun menoleh kepada Sayidah Fatimah as, lalu meminta kepada beliau untuk berbicara kepada Nabi saaw dan menyampaikan permohonan maaf dari kaum musyrikin Qureisy. Akan tetapi Sayidah Fatimah pun dengan tegas menolak seraya mengatakan bahwa semua itu terpulang kepada keputusan Rasul Allah saaw sendiri.
Adapun Rasul Allah saaw, telah mengambil ketetapan dan memerintahkan mobilisasi umum dengan tujuan menaklukkan kota Makkah, benteng terkuat diantara benteng-benteng para penyembah berhala, dan menghancurkan pemerintahan kaum Qureisy yang zalim, yang selama ini merupakan kendala terbesar bagi kemajuan dan penyebaran ajaran Islam.
Doa Nabi saaw di hari-hari itu ialah permohonan kepada Allah swt agar membutakan mata orang-orang Qureisy sehingga tidak meliat kedatangan muslimin dan tidak mengetahui tujuan mereka. beliau berdoa demikian : 
اللّهم خُذ على قريش أبصارهم فلا يروني إلاّبغتةً ولا يسمعون بي إلاّ فجأة
"Ya Allah cabutlah penglihatan orang-orang Qureisy sehingga mereka tidak akan melihat kedatanganku kecuali dalam keadaan tiba-tiba dan tidak mendengar rencanaku ini kecuali mendadak"
Di bulan Ramadlan tahun kedelapan, berkumpullah umat muslimin dalam jumah yang besar untuk berangkat menuju Makkah. Berbagai kabilah dan suku Arab yang telah menyatakan keislaman mereka juga turut serta. Diantara mereka yang ikut dalam rombongan fathu Makkah ini ialah, kaum Muhajirin 700 orang dengan tiga bendera ditambah 300 ekor kuda. Kaum Anshar 4000 orang dengan banyak bendera ditambah 700 ekor kuda. Kabilah Muzainah 1000 orang dengan dua bendera dan 100 ekor kuda. Kabilah Juhainah 800 orang dengan empat bendera dan 50 ekor kuda. Kabilah Bani Ka’ab 500 orang dengan tiga bendera. Selain mereka ikut pula sejumlah besar orang dari kabilah Ghifar, Asyja’ dan Bani Sulaim. Ibnu Hisyam, salah seorang penulis sejarah terkenal mengatakan bahwa muslimin yang ikut serta dalam Fathu Makkah mencapai 10.000 orang.
Hampir saja berita tentang kedatangan kaum muslimin ke Makkah ini sampai ke telinga orang-orang Makkah. Jibril as datang kepada Nabi saaw memberitakan bahwa ada seorang mata-mata di kalangan muslimin yang mengirim surat kepada kaum Qureisy, melalui seorang perempuan bernama Sarah, seorang penyanyi dan penghibur, yang ingin membocorkan rencana besar Rasul Allah saaw menaklukkan kota Makkah ini. Jibril memberitakan bahwa perempuan bersama suatu rombongan tengah bergerak menuju Makkah.
Mendengar itu Rasul Allah saaw memerintahkan kepada Imam Ali as, Miqdad dan Zubeir, untuk mengejar perempuan tersebut, menahannya dan mengambil surat itu darinya. Mereka bertiga berhasil mengejar rombongan tersebut, lalu menahan perempuan itu dan memintanya untuk menyerahkan suratnya. Akan tetapi perempuan tersebut membantah dan mengatakan bahwa ia tidak membawa surat apa pun.
Tentu saja Imam Ali as sama sekali tidak percaya omongan perempuan ini karena ia yakin seratus persen bahwa Jibril as tidak mungkin berbohong. Untuk itu beliau berkata dengan nada keras dan mengancam perempuan tersebut, jika tidak bersedia menyerahkan surat, terpaksa beliau akan menggeledahnya. Karena merasa takut maka perempuan itu pun menyerah dan mengeluarkan surat rahasia tersebut.
Penaklukan kota Mekah  ( Fathu Makkah )
Setelah kaum musyrikin Qureisy melanggar perjanjian damai dengan Rasul Allah saaw, dan setelah utusan mereka yaitu Abu Sufyan, gagal meminta maaf dari Rasul Allah saaw, dan kembali ke Makkah dengan tangan hampa, Rasul Allah saaw menyusun rencana rahasia untuk menaklukkan kota Makkah. Akan tetapi beliau tidak menginginkan adanya pertumpahan darah dalam hal ini. Untuk itulah beliau menyusun strategi dengan sangat rapi, dengan memperhitungkan tujuan beliau itu.
Rasul Allah saaw pun memulai gerakan besarnya ini tanpa seorang pun yang mengetahui dengan pasti tujuan beliau, selain sejumlah kecil orang kepercayaan beliau. Saat itu tanggal 10 Ramadlan. Beliau dan muslimin dalam keadaan berpuasa. Di tengah jalan beliau berbuka dengan meneguk air, dan meminta seluruh anggota pasukan untuk melakukan hal yang sama, dengan tujuan agar mereka memiliki kekuatan dan tidak lemah ketika berhadapan dengan musuh.
Setelah Rasul bergerak dari Madinah menuju Makkah, paman beliau, Abbas bin Abdulmuttalib, juga bergerak dari Makkah menuju Madinah untuk bergabung bersama Rasul Allah saaw. Sebagaimana diketahui, setelah Rasul Allah saaw dan muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, Abbas bin Abdulmuttalib tetap berada di Makkah, tidak ikut berhijrah ke Madinah. Hal itu adalah atas permintaan Nabi saaw, dengan tujuan agar Abbas memata-matai semua kegiatan kaum musyrikin Quraisy dan menghinformasikannya kepada Rasul Allah saaw di Madinah.
Untuk itulah Abbas paman Rasul ini, menyembunyikan keislamannya dan menjalin hubungan yang baik dengan tokoh-tokoh Qureisy seperti Abu Sufyan dan lain-lain. Ketika Abbas menyongsong ke datangan Rasul Allah dan muslimin di tengah jalan antara Makkah dan Madinah, Abbas membawa serta Abu Sufyan dan seorang lagi tokoh Qureisy bernama Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughirah. Dua orang ini adalah yang paling getol memusuhi Rasul Allah saaw dan yang sangat aktif dalam usaha menggagalkan dakwah beliau. Setelah Abbas dan dua orang ini bergabung bersama Rasul Allah saaw, kedua orang tersebut ingin bertemu dengan Nabi, akan tetapi mereka tidak mendapat ijin untuk itu.
Ketika pasukan Islam sudah sampai di pinggiran kota Makkah, Rasul Allah saaw memerintahkan untuk menyalakan api di atas gunung dan bukit-bukit sekitar Makkah dari arah Madinah, dengan tujuan menciptakan rasa takut dipada penduduk Makkah. Beliau juga meminta agar setiap orang dari tentaranya membawa obor di tangan sehingga akan tampak sebuah garis memanjang dari api. Semua itu adalah untuk menunjukkan kepada penduduk Makkah bahwa yang datang kali ini adalah pasukan muslimin dalam jumlah yang besar. Rasul Allah saaw juga mengutus Abbas, paman beliau, untuk memberitakan kepada warga Makkah agar menyerah terhadap pasukan muslimin dan tidak mengadakan perlawanan.
Ringkas cerita, penduduk Makkah benar-benar merasa ketakutan melihat atau mendengar besarnya kekuatan pasukan muslimin, sehingga tak ada lagi semangat perlawanan dari mereka. Inilah memang yang dikehendaki oleh Rasul Allah saaw, yaitu penaklukan kota Makkah tanpa pertumpahan darah. Ketika masih berada di pinggiran Makkah dan sebelum memasuki kota ini, Rasul Allah saaw menerima Abu Sufyan di kemah beliau.
Diantara pembicaraan antara Rasul Allah saaw dan Abu Sufyan ialah bahwa Rasul Allah saaw berkata kepadanya, “Belum tibakah saatnya bagimu untuk meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah?” Abu Sufyan berkata, “Sesungguhnyalah wahai Muhammad, betapa lembutnya hatimu, betapa mulianya dirimu dan betapa besarnya perhatianmu terhadap pertalian keluarga. Demi Allah, aku telah menyangka bahwa jika ada tuhan lain selain-Nya, maka aku tidak akan memerlukannya.” Kemudian Rasul Allah saaw berkata, “Belum tibakah saatnya bagimu untuk meyakini bahwa aku adalah utusan Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Demi Allah tentang yang satu ini di hati masih ada ganjalan.”
Mendengar jawaban Abu Sufyan seperti itu, Abbas bin Abdulmuttalib yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, marah dan membentak Abu Sufyan, “Menyerahlah dan bersaksilah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, sebelum lehermu dipenggal.” Maka Abu Sufyan pun mengucapkan dua kalimat syahadah tersebut, dan Rasul Allah saaw pun menerima keislamannya yang seperti itu. Akan tetapi Rasul Allah saaw tetap meminta kepada Abbas agar tetap menjaga dan mengawasi Abu Sufyan karena orang ini masih belum bisa dipercaya.
Kemudian atas permintaan Rasul pula, Abbas membawa Abu Sufyan ke suatu tempat agak tinggi, di atas jalan yang akan dilalui oleh rombongan pasukan muslimin, agar menyaksikan kehebatan kekuatan muslimin ketika memasuki kota Makkah. Ketika Abu Sufyan menyaksikan masuk pasukan muslimin rombongan demi rombongan, sementara Abbas memberikan penjelasan kepadanya tentang ciri-ciri dan kehebatan pasukan muslimin, Abu Sufyan berkata, “Benar-benar hebat mereka itu. Demi Allah, kerajaan keponakanmu telah sedemikian besar dan kuat.” Abbas menjawab, ”Celaka kau Hei Abu Sufyan, ini bukan kerajaan, akan tetapi kenabian.”
Demikianlah Rasul Allah saaw dan pasukannya memasuki kota Makkah dengan penuh kewibawaan, tanpa pertumpahan darah, berkat strategi yang beliau rancang dengan sebaik-baiknya. Kemudian Rasul Allah saaw membebaskan Abu Sufyan untuk menemui tokoh-tokoh Makkah dan memastikan lagi kepada mereka untuk menyerah sepenuhnya dan tidak mengadakan perlawanan menghadapi pasukan muslimin. Akan tetapi, meskipun Rasul Allah saaw memerintahkan tentaranya untuk tidak memulai menyerang, kecuali jika diserang, beliau menjatuhkan hukuman mati untuk sepuluh orang dari penduduk Makkah, dan memerintahkan kepada pasukannya agar membunuh mereka, meskipun mereka berlindung di balik kain Ka’bah. Nama-nama sepuluh orang yang dijatuhi hukuman mati oleh Rasul Allah saaw ini ialah:
1- Ikrimah bin Abi Jahal                                          2- Hubar bin Aswad
3- Abdullah bin Abi Sarh                                         4- Qeis bin Hubabah Al-Kindi
5- Al-Huwairits bin Nuqainad                                   6- Shofwan bin Umayyah
7- Wahsyi bin Harb, pembunuh Sayidina Hamzah     8- Abdullah bin Zab’ari
9- Harits bin Thalalah                                             10- Abdullah bin Khathl
Aturan Baru di Mekah
Setelah Rasul Allah saaw memasuki Makkah dan beristirahat, beliau meminta kepada Utsman bin Thalhah untuk memberinya kunci Ka’bah, karena selama ini dia lah pemegang kunci Ka’bah yang dia terima secara turun temurun. Kemudian Nabi membuka pintu Ka’bah dan memasukinya diikuti oleh beberapa sahabat. Kemudian Nabi meminta agar pintu Ka’bah ditutup, dan Khalid bin Walid menjaganya di luar. Pada masa itu dinding Ka’bah di bagian dalam penuh dengan gambar para Nabi, malaikat dan sebagainya. Rasul Allah saaw meminta agar semua itu di bersihkan lalu beliau membasuh dinding Ka’bah bagian dalam dengan air zamzam.
Patung-patung yang berada di dalam Ka’bah pun dihancurkan oleh Rasul Allah saaw. Imam Ali as ikut membantu Rasul Allah saaw dalam menghancurkan patung-patung ini. Ketika Rasul Allah akan menghancurkan patung yang terbesar, beliau perlu pijakan untuk mencapai tempat yang lebih tinggi. Untuk itu beliau meminta Imam Ali agar mengangkat beliau di atas bahu. Ketika Rasul Allah berusaha berdiri di atas bahu Imam Ali as, Imam Ali merasakan beban yang sangat berat dari tubuh Rasul Allah saaw, sehingga beliau tidak mampu berdiri mengangkat tubuh Rasul Allah dengan bahunya. Dalam hal ini Imam Ali sendiri mengatakan bahwa beban risalah yang diemban oleh Rasul Allah membuat tubuh beliau sedemikian berat.
Wal hasil apa pun sebabnya, yang jelas dalam sejarah dikatakan bahwa ketika Imam Ali as tidak mampu mengangkat tubuh Rasul Allah saaw, maka Rasul Allah meminta agar Imam Ali yang naik ke bahu beliau untuk menjatuhkan berhala terbesar sesembahan kaum musyrikin Qureisy itu. Jadilah Imam Ali as naik ke atas bahu Rasul Allah saaw dan menjatuhkan berhala besar yang pecah berkeping ketika menimpa tanah. Kemudian Rasul Allah saaw berdiri di depan pintu Ka’bah dan mengucapkan kata-kata berikut ini :
الحمد للّه الذي صدق وعده ونصر عبده وهزم الاَحزاب وحده
Segala puji bagi Allah yang telah menepati janji-Nya, dan menolong hamba-Nya, dan mengalahkan golongan-golongan (kuffar musyrikin) sendirian”.
Kemudian beliau memandang kepada orang-orang Makkah yang menyaksikan beliau menghancurkan berhala-berhala itu. Beliau bertanya kepada mereka, “Apa yang akan kalian katakan dan bagaimana menurut kalian?” Mereka menjawab, “Kami mengatakan yang baik dan berpendapat dengan pendapat yang baik pula. Engkau adalah saudara kami yang mulia, dan anak saudara kami yang mulia, dan Engkau telah mencapai kemenangan.” Rasul Allah saaw menimpali ucapan mereka dengan mengatakan, “Sedangkan aku mengatakan kepada kalian sebagaimana yang dikatakan oleh Saudaraku Yusuf,
قالَ لا تَثْريبَ عَلَيْكُمُ اليَومَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرّاحِمين
“Dia (Yusuf) berkata, “Hari ini tidak ada celaan atas kalian. Mudah-mudhaan Allah mengampuni kalian, dan Dialah yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang”. (Yusuf: 92)
Kemudian Rasul Allah saaw juga mengatakan, “Kalian adalah seburuk-buruk tetangga Nabi. Kalian telah mendustakan, mengusir, dan mengganggu. Tetapi kalianbelum puas dengan semua itu, lalu kalian memerangiku pula. Pergilah kalian, dankalian adalah orang-orang yang dimerdekakan.”
Setelah menunaikan salat Dhuhur, Rasul Allah saaw menyerahkan kembali kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat memegang teguh amanat kepada para pemiliknya. Kemudian Rasul Allah saaw menghapus semua jabatan yang berkaitan dengan Ka’bah yang berlaku di masa jahiliyah, kecuali yang bermanfaat bagi umat manusia, seperti pemegang kunci Ka’bah dan penjaga tirai Ka’bah, juga petugas pembagi air untuk para hujjaj.
Dalam kesempatan pertemuan dengan kaum kerabatnya, teramsuk BaniHasyim danBani Abdul Muttalib, Rasul Allah saaw menjelaskan kepada mereka bahwa ikatan kekeluargaan yang ada diantara mereka tidak boleh membuat mereka merasa lebih mulia daripada orang lain, atau menjadikannya sebagai tameng untuk berbuat semena-mena dan melanggar yang berlaku dalam pemerintahan Islam.
Di hadapan kaum kerabatnya ini, Rasul Allah saaw bersabda sebagai berikut, “Wahai Bani Hasyim, Wahai Bani Abdul Muttalib, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, dan aku sangat mengasihi kalian. Akan tetapi janganlah kalian mengatakan “Muhammad dari kami”. Demi Allah, para pencintaku, baik dari kalian atau dari selain kalian, tak lain adalah orang-orang yang bertakwa. Jangan sampai kalian datang kepadaku di hari kiamat dalam keadaan memanggul dunia, sementara orang lain datang memanggul akherat. Ketahuilah bahwa aku tidak dapat berbuat apa dengan apa yang ada antara aku dan kalian, tidak pula antara Allah swt dan kalian. Bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian.”
Kemudian, dalam khutbah yangbeliau sampaikan di depan sejumlah besar penduduk Makkah, Rasul Allah saaw mengajak semuanya untuk meninggalkan adat kebiasaan buruk di masa jahiliyah. Diantaranya ialah, watak suka menyombongkan nasab atau garis keturunan, etnis Arab atau kearaban, dendam kesumat dan perang berkepanjangan, dan kebiasaan-kebiasaan buruk lain. Semantara itu beliau menumbuhkan nilai-nilai mulia diantara emreka, seperti persamaan hak dan kedudukan diantara manusia, persaudaraan Islam, kasih sayang terhadap kaum lemah termasuk anak yatim dan kaum perempuan.
Sebelum ini telah disebutkan bahwa Rasul Allah menjatuhkan vonis mati kepada 10 orang penduduk Makkah dan meminta agar mereka dibunuh dimanapun mereka berada, bahkan jika mereka bersembunyi di balik kain Ka’bah. Akan tetapi kira-kira separuh dari sepuluh orang ini pada akhirnya dimaafkan juga oleh Rasul Allah saaw, karena permohonan beberapa sahabat, atau kerabat orang-orang itu, yang sudah masuk Islam sebelumnya.
Selain di dalam Ka’bah, kaum musyrikin Qureisy juga memiliki rumah-rumah ibadah yang penuh dengan berbagai macam berhala di dalamnya. Rasul Allah saaw, juga memerintahkan agar rumah-rumah ibadah tersebut dibersihkan dari patung. Beliau juga memerintahkan kepada penduduk Makah yang memiliki patung agar menghancurkannya.
Demikianlah Rasul Allah saaw setelah menaklukkan Makkah, mengislamkan seluruh penduduknya dan membersihkan kota ini dari semua berhala, beliau pun mengatur dan merapikan pemerintahannya dengan menunjuk orang-orang tertentu untuk menjalankan tugas-tugas sosial, politik, keamanan dan ketatanegaraan.
Dalam penaklukan kota suci Makkah Al-Mukarramah, dimana setelah Nabi dan muslimin menguasai penuh kota tersebut, maka sekitar 15 hari kemudian, beliau menyusun pasukan dalam jumlah 12.000 tentara, dan beliu pimpin sendiri menuju ke kabilah Hawazin dan Tsaqif, yang memberontak kepada beliau. Jumlah pasukan muslimin sedemikian besar karena setelah penduduk Makkah menyatakan menerima Islam, maka bergabunglah kaum pemuda Makkah ke dalam tentara muslimin. Bahkan jumlah besar pasukan ini sempat menimbulkan kebanggaan di kalangan muslimin sehingga mereka sempat melalaikan peran dan pertolongan Allah swt, dan menganggap remeh musuh yang bakal mereka hadapi.
Kondisi mereka seperti inilah yang disinggung di dalam Al-Quran Surat At-Taubah Ayat 25, sebagai berikut:

لقد نصركم الله في مواطن كثيرة ویوم حنين اذ اعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم من الله شیا وضاقت عليكم الارض بما رحبت ثم وليتم مدبرين

Yang artinya, “Allah telah menolong kalian dalam banyak medan pertempuran, dan dalam perang Hunain, ketika kalian merasa bangga dengan jumah kalian yang besar, tetapi hal itu tidak berguna apa pun bagi kalian. Dan bumi pun menjadi sempit bagi kalian, padahal ia luas, kemudian kalian melarikan diri dari medan perang.”
Secara singkat peristiwa perang Hunain itu, sebagaimana disebutkan dalam berbagai kitab sejarah, terjadi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tentara muslimin menghadapi kekalahan karena tipu daya dan taktik perang yang digunakan oleh musuh. Sementara sebagaimana disinggung oleh Ayat tersebut di atas, pasukan muslimin kurang waspada karena mereka merasa bangga dan hanya mengandalkan kekuatan serta jumlah pasukan yang besar.
Pada tahap pertama, pasukan muslimin dari Bani Sulaim di bawah pimpinan Khalid bin Walid, yang pertama kali masuk ke daerah lawan, terjebak dalam serangan mendadak oleh musuh yang bersembunyi di atas bukit yang kemudian melempari pasukan muslimin dengan batu, anak panah dan tombak. Akibat serangan mendadak ini jatuh korban jiwa dan luka dari pasukan muslimin, sehingga mereka berserabutan lalu sebagiannya melarikan diri.
Melihat kekacauan pasukan muslimin tersebut Rasul Allah saaw memerintahkan Abbas bin Abdulmuttalib untuk menyeru mereka agar mereka yang melarikan diri itu kembali kepada beliau. Mendengar teriakan Sayyidina Abbas tersebut, kembali tumbuh semangat di hati mereka, lalu mereka pun kembali ke pada Nabi saaw. Dengan demikian Rasul pun dapat menyusun lagi kekuatan,lalu menyerang posisi musuh. Serangan balasan pasukan muslimin ini berhasil menimpakan korban dan kerugian cukup besar di pihak lawan sehingga memaksa mereka lari meninggalkan posisi mereka. Mereka juga meninggalkan banyak bekal dan peralatan perang, juga wanita dan anak-anak mereka yang tadinya sengaja disertakan bersama mereka untuk membangkitkan semangat tempur.
Diketahui kemudian bahwa meletakkan anak istri di belakang pasukan yang bertempur, merupakan taktik kabilah Hawazin, dan kabilah Arab lain, untuk membangkitkan semangat tempur dan mencegah mereka melarikan diri dari medan perang. Akibatnya, ketika pada akhirnya mereka lari meninggalkan medan perang, maka kaum wanita dan anak-anak ini tertinggal sehingga menjadi tawanan. Pada perang kali ini pun, secara keseluruhan, pasukan muslimin menahan sebanyak enam ribu orang dari pihak musuh, selain pampasan perang lain berupa hewan dan peralatan perang, serta emas perak sebanyak lebih dari 3300 kilogram.
Sedangkan dari pasukan muslimin, delapan orang syahid dan sejumlah lainnya cidera. Setelah kabilah Hawazin mengalami kekalahan, Rasul Allah saaw pun mempersiapkan pasukannya untuk memerangi kabilah Tsaqif, yang bersama-sama kabilah Hawazin memerangi muslimin. Kabilah Tsaqif, setelah mengalami kekalahan, maka kabilah Tsaqif yang membantu Hawazin pun lari menuju ke kampung halaman mereka di Thaif. Mereka bersembunyi di balik benteng-benteng mereka yang terkenal kokoh dengan dinding-dinding yang tinggi. Bersembunyi di balik benteng-bentengnya ini, mereka melempari dengan batu dan memanahi pasukan muslimin, sehingga tidak dapat mendekat ke arah mereka.
Kemudian Salman Al-Farisi, mengusulkan agar membuat “manjaniq”, meriam kuno untuk melemparkan batu berukuran besar ke jarak yang jauh. Disebutkan dalam sejarah bahwa Salman sendirilah, dibantu oleh yang lain, yang membuat manjaniq ini, dan mengajarkan kepada muslimin cara-cara penggunaannya. Akan tetapi hal itu pun tidak mendatangkan banyak kemajuan bagi pasukan muslimin, karena kabilah Tsaqif masih tetap bertahan di dalam benteng dan di balik pintu-pintu gerbang mereka yang masih tetap kokoh.
Pasukan muslimin tetap hanya dapat mengepung tanpa hasil apa pun, dan hal itu berjalan selama berhari-hari. Berbagai taktik telah dilakukan oleh Rasul Allah saaw untuk membuat kabilah Tsaqif menyerah. Diantara taktik beliau itu ialah bahwa beliau mengeluarkan pengumuman, barang siapa yang menyerahkan diri kepada beliau, maka orang itu akan dibebaskan dan tidak akan ditawan. Pernyataan Rasul yang demikian ini berpengaruh pada sebagian pasukan kabilah Tsaqif, yang keluar dari meneyrahkan diri kepada Rasul Allah.
Dari mereka yang baru menyerah inilah Rasul Allah saaw mendapat informasi tentang keadaan di dalam benteng. Mereka mengatakan bahwa pihak musuh memiliki bekal yang sangat banyak sehingga akan mampu bertahan meskipun dikepung selama satu tahun. Untuk itulah, dan atas dasar berbagai pertimbangan, Rasul Allah saaw memerintahkan agar pasukannya meninggalkan medan perang.
Beberapa alasan Rasul Allah saaw meninggalkan medan perang tersebut ialah:
1-                            Tidak ada kemajuan yang diperoleh karena kabilah Tsaqif dan beberapa suku Arab lain yang membantunya, hanya bersembunyi di balik benteng.
2-                            Pasukan muslimin sudah lelah karena perang sebelumnya menghadapi kabilah Hawazin.
3-                            Bulan Syawal sudah habis dan masuk bulan DzulQa’dah yang merupakan awal bulan suci (asyhurul hurum) yang dilaranag berperang di dalamnya.
4-                            Musim haji juga sudah dekat. Dan sejak penaklukan kota Makkah, maka pengelolaan pelaksanaan ibadah haji berada di tangan muslimin.
Akan tetapi Rasul Allah saaw tetap melancarkan dakwah Islam kepada kabilah Tsaqif dan semua suku Arab yang masih belum masuk Islam, sampai akhirnya mereka semua bersedia menerima agama Islam atau menyatakan tunduk kepada pemerintahan Islam.

Nabi Sang Pemaaf
Setelah perang Hunain dan Thaif, yang mendatangkan kemenangan sangat besar bagi muslimin, terutama dari segi peolehan pampasan dan tawanan perang termasuk kaum wanita dan anak-anak, Rasul Allah saaw berserta pasukannya kembali ke Ji’ranah, tempat para tawanan dan pampasan perang Hunain disimpan dan dikumpulkan. Beliau tinggal di Ji’ranah selama 13 hari.
Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa kecilnya, Rasul Allah saaw di susui dan hidup selama lima tahun bersama Bani Sa’ad yang merupakan bagian dari kabilah Hawazin. Beliau disusui oleh seorang perempuan Bani Sa’ad bernama Halimah As-Sa’diyyah. Bani Sa’ad ini ikut berperang bersama Kabilah Hawazin melawan pasukan muslimin. Dan banyak dari kaum perempuan dan anak-anak mereka yang ditawanan oleh pasukan muslimin, selain sejumlah harta kekayaan mereka.
Karena para tokoh Bani Sa’ad mengenal kemuliaan akhlak dan kepribadian Nabi saaw, maka mereka yakin bahwa jika mereka meminta kepada Nabi agar membebaskan kaum perempuan dan anak-anak mereka, melihat bahwa sebenarnya telah terjalin persaudaraan diantara mereka, lewat penyusuan tersebut, maka Nabi pasti akan memenuhi permintaan mereka.
Untuk itu Bani Sa’ad mengutus tokoh-tokoh mereka yang telah memeluk agama Islam, untuk menemui Nabi saaw, dan memohon kepada beliau agar membebaskan kaum perempuan dan anak-anak mereka. Rasul Allah saaw pun, dengan kebijaksanaan yang tinggi, pada akhirnya membebaskan mereka semua. Perbuatan Nabi tersebut menanamkan pengaruh posistif yang sangat dalam di hati Bani Sa’ad bahkan seluruh kabilah Hawazin, sehingga lebih banyak lagi diantara mereka yang menyatakan Islam dan iman serta ketaatan kepada Rasul Allah saaw.
Peperangan penting yang terjadi setelah itu ialah perang Tabuk. Tabuk ialah sebuah benteng yang kuat dan tinggi, dibangun di sebuah kawasan perbatasan Syam, atau Suriah sekarang. Pada zaman itu Suriah merupakan tanah jajahan imperium Romawi Timur. Penduduk Syam saat itu beragama Kristen, dan para pejabat pemerintahannya ditunjuk oleh para penguasa Romawi.
Penyebaran agama Islam yang sangat cepat di Tanah Arab dan kemenangan umat muslimin dalam berbagai peperangan, membuat para penguasa Syam takut, sehingga mendorong mereka untuk menyusun strategi. Mereka berpikir bahwa sebelum Islam semakin menyebar dan memperoleh kekuatan, maka mereka harus membasminya terlebih dahulu. Rupanya strategi preemtif yang sekarang ini diterapkan oleh AS, sudah dikenal sejak zaman dulu.
Persiapan pasukan Syam yang didukung oleh pasukan imperium Romawi dan niat mereka untuk melancarkan serangan preemtif terhadap muslimin ini telah didengar oleh Rasul Allah saaw, melalui berita yang dibawa oleh para pedagang Arab yang jalur perdagangan mereka itu adalah Madinah - Syam. Beliaupun merasa harus segera mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar untuk menghadang dan memberi pelajaran kepada pasukan Syam dukungan Romawi itu, selain tentu saja demi menjaga dan mempertahankan pemerintahan Islam yang berhasil beliau tegakkan di jazirah Arab.
Ketika Rasul Allah saaw mengajak umat muslimin Makkah dan Madinah untuk ikut dalam peperangan, sebagian dari mereka menolak dengan memberikan berbagai macam alasan. Hal ini disinggung di dalam Al-Quran Surat At-Taubah Ayat 49, juga Surat yang sama Ayat 81 dan 82. Pada saat mempersiapkan pasukan untuk menghadapi serangan dari Syam ini, Rasul Allah saaw banyak menghadapi usaha pengkhianatan dari kaum munafikin. Akan tetapi berkat kejelian dan ketegasan beliau, semua usaha tersebut dapat beliau atasi dengan baik.
Perang Tabuk ini termasuk diantara peperangan yang sangat penting, meskipun kemudian peperangan ini tidak terjadi karena pihak musuh merasa takut dan gentar melihat kebesaran dan keberanian pasukan muslimin. Mereka bersembunyi di balik pintu gerbang dan di dalam kota. Oleh karena itu Rasul Allah saaw hanya dapat menemui beberapa kabilah di sekitar Tabuk yang mereka itu beragama Kristen dan takluk di bawah kekuasaan kekaisaran Romawi. Rasul Allah mengadakan perjanjian damai dan tidak saling menyerang dengan kabilah-kabilah tersebut, sehingga beliau tidak merasa terancam oleh kabilah-kabilah ini. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.
Ketika akan berangkat menuju Tabuk Rasul Allah saaw sengaja tidak menyertakan Imam Ali as bersama beliau, akan tetapi meninggalkan beliau di Madinah. Rasul Allah saaw menyadari bahwa beliau akan meninggalkan Madinah dalam waktu yang sangat lama karena Tabuk kawasan yang paling jauh dibanding medang perang lain yang pernah beliau alami. Dan oleh karena menyadari adanya sekelompok munafikin yang menunggu kesempatan ketiadaan Nabi di Madinah dalam waktu yang lama, untuk membuat semacam kudeta, maka Rasul Allah saaw sengaja meninggalkan orang yang paling beliau percayai, yaitu Imam Ali as untuk menjaga Madinah dan seluruh kawasan Islam yang ada saat itu, yaitu Madinah, Makkah dan beberapa kawasan sekitarnya, dari usaha-usaha jahat munafikin.
Melihat Rasul Allah saaw meninggalkan Imam Ali as di Madinah, kaum munafikin merasa kecewa dan yakin bahwa dengan keberadaan Imam Ali di Madinah, tak mungkin mereka dapat melaksanakan rencana jahat mereka. untuk itu mereka menimbulkan isu-isu yang menyudutkan Imam Ali dengan harapan akan mendorong beliau untuk berangkat bersama Rasul Allah saaw, meninggalkan Madinah. Pada intinya isu-isu tersebut mengatakan bahwa Rasul Allah sudah tidak lagi memerlukan Ali dalam peperangannya, atau bahwa Ali-lah yang meminta untuk tinggal bersama kaum perempuan dan anak kecil di Madinah, karena perang kali ini sangat jauh, dilakukan di tengah musim panas, dan menghadapi musuh yang sangat tangguh.
Mendengar kasak-kusuk kaum munafikin tersebut, Imam Ali as berangkat mengejar rombongan Rasul Allah saaw dan berhasil menemui beliau di Juhfah berjarak beberapa kilo meter dari Madinah. Di situlah Imam Ali as menyampaikan kasak-kusuk kaum munafikin tersebut. Dan untuk membantahnya Rasul Allah saaw kembali mengeluarkan pernyataan yang sangat terkenal dan menjadi salah satu bukti kepemimpinan Imam Ali as setelah beliau saaw. Ucapan Nabi ini kemudian dikenal dengan hadits “manzilah”. Beliau berkata kepada Imam Ali:
أما تَرْضى يا عَليّ أنْ تَكُونَ مِنّي بِمنزلةِ هارونَ مِنْ مُوسى إلاّ أنَّه لا نبيَّ بعدي
”Apakah engkau tidak suka wahai Ali, bahwa engkau memiliki kedudukan terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa? Hanya saja tidak ada Nabi lagi setelahku.”

Perang Tabuk juga menyimpan kisah-kisah menarik tentang kemunafikan sejumlah orang yang mengaku sebagai sahabat Nabi, akan tetapi mereka sebenarnya adalah orang-orang munafik. Peristiwa perang ini berlangsung di saat Jazirah Arab sedang dipanggang musim panas yang sangat terik. Hari-hari sangat panjang dan lautan pasir menjadi sangat garang. Kebiasaan orang-orang saat itudi musim panas adalah banyak beritirahat di siang hari.
Rasulullah menyeru kepada semua kabilah bersiap-siap dengan pasukan yang   sebesar mungkin. Orang-orang  kaya  dari  kalangan  Muslimin  juga dimintanya supaya ikut serta dalam menyiapkan pasukan itu dengan  harta yang ada pada  mereka  serta  mengerahkan  orang  supaya sama-sama menggabungkan diri ke dalam  pasukan itu.  Seruan Rasulullah ini berarti ajakan untuk meninggalkan  isteri, anak, dan harta-bendadi panas  musim  yang  begitu  dahsyat. Mereka harus mengarungi lautan tandus padang sahara, yang kering, tanpa air, kemudian  harus pula menghadapi musuh kuat yang sudah mampu mengalahkan Kerajaan Persia.
Hati sebagian orang kaya itu sangat  berat langkah dalam memenuhi panggilan Rasulullah. Mereka mulai mereka itu mencari-cari alasan, sambil  berbisik-bisik
sesama  mereka . Lebih jauh lagi, mereka mulai mencemooh ajakan Rasul yang mulia itu. Mereka akhirnya berdiam diri di rumah-rumah mereka secara sengaja. Ketika sekelompok orang-orang munafik mulai memprovokasi satu sama lain dengan mengatakan “Jangan kalian berangkat perang dalam udara panas seperti ini”. Turunlah firman Allah berikut ini,
Farihal mukhallafuna bi….
“Orang-orang tertinggal di belakang dan tidak ikut berperang itu merasa gembira dengan ketertinggalan mereka di belakang Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Merek berkata, "Jangan kalian berangkat  perang  dalam udara  panas  begini.'  Katakanlah kepada mereka itu, 'Api neraka lebih panas lagi, jika saja kalian  mengerti.  Biarlah  nanti mereka  tertawa sedikit dan menangis lebih banyak sebagai balasan atas hasil perbuatan mereka." (Qur'an, surah at taubah ayat 81-82)
Di antara mereka, ada juga yang mencoba menghindari peperangan, namun tidak dengan terang-terangan seperti kaum munafik itu. Mereka itu sebenarnya telah terjebak kepada provokasi orang-orang munafik. Mereka sempat meminta izin kepada Rasulullah agar tidak perlu pergi berperang dengan alasan agar bisa menghindari fitnah. Akan tetapi, sebagaimana yang kemudian disampaikan oleh Rasul, Allah menilai bahwa permintaan izin merteka itu justru salah satu bentuk keterjebakan ke dalam fitnah. Simaklah ayat AL-Quran berikut ini.
Wa minhum man….
"Ada pula di antara mereka yang  berkata:  'Ijinkanlah  saya (tidak  ikut  serta)  dan jangan kau jerumuskan saya ke dalam fitnah ini., Ketahuilah, mereka kini sudah  terjatuh  ke  dalam ujian  itu,  dan  bahwa  neraka  itu adalah tempat bagi orang-orang kafir." (Qur'an, 9:49)
Tentara  Rasulullah akhirnya meneruskan  perjalanan  ke Tabuk.   Sebenarnya  berita tentang  pasukan  ini  dan  kekuatannya sudah sampai kepada pihak Rumawi. Inilah yang membuat pasukan Rumawi gentar. Oleh karena  itu Setelah pihak Muslimin sampai  di  Tabuk  dan  Muhammad  mengetahui  pihak Rumawi menarik diri ke dalam benteng-benteng mereka, Rasul merasa tidak pada tempatnya untuk tetap mengejar mereka  terus  sampai  ke dalam negeri mereka. Oleh  karena  itu,  ia  perinahkan kaum muslimin agar tetap  tinggal  di  perbatasan
Ketika itulah Yohanna bin Ru'ba -  seorang  amir  (penguasa) Aila yang tinggal  di perbatasan   oleh Nabi dikirimi surat supaya ia tunduk atau  akan  diserbu.  Yohanna  datang sendiri dengan memakai salib dari emas di dadanya. Ia datang dengan membawa hadiah dan menyatakan  setia.  Ia  mengadakan perdamaian  dengan  Muhammad  dan  bersedia  membayar  jizya seperti yang juga dilakukan oleh pihak Jarba' dan  Adhruh
dengan  membayar jizyah. Permintaan damai ini diterima oleh Rasulullah.
Sebagai tanda persetujuan atas perjanjian ini Muhammad  memberikan hadiah kepada Yohanna berupa mantel  tenunan Yaman  disertai perhatian penuh kepadanya, setelah diperoleh persetujuan bahwa Aila  akan  membayar  jizya  sebesar  3000 dinar tiap tahun. Kemudian Rasulullah pun memerintahkan pasukan muslim pulang ke Madinah.

Penyucian Mekah dari Syirik
Setelah perang Tabuk, peristiwa penting berikutnya yang terjadi pada kehidupan Rasulullah adalah perintah untuk membersihkan Masjidil Haram dari adat-adat jahiliyah. Pada tahun kesembilan hijriyah, menjelang datangnya musim haji, Rasulullah SAW mendapat wahyu dari Allah yang berisi pernyataan berlepas tangan dari kaum kafir. Wahyu tersebut adalah sepuluh ayat pertama surah Baraah atau Taubah. Diantara wahyu tersebut adalah pernyataan yang menybut kaum kafir sebagai orang-orang najis yang tidak diperkenankan memasuki masjidil Haram.
Sebagaimana yang diketahui, meski kota Mekah telah ditaklukkan dan seluruh berhala yang berada di dalam komplek masjidil haram telah dihancurkan, akan tetapi orang-orang kafir masih bebas melakukan tawaf dan umrah di sana dengan tata cara jahiliyah. Turunnya ayat-ayat pertama surah taubah adalah keputusan dari Allah ujntuk membersihkan Mekah dari segala hal yang berbau kemusyrikan.
Setelah ayat tersebut turun, Rasul memerintahkan Abu Bakar untuk membawa ayat itu dan membacakannya kepada semua yang berada di Mekah saat musim haji tiba. Sahabat Nabi itu dengan serta merta bertolak ke Mekah untuk menjalankan perintah terebut. Akan tetapi tak lama setelah Abu Bakar berangkat, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengutus Ali ke Mekah menggantikan Abu Bakar. Ali-pun bertolak ke Mekah mengejar Abu Bakar. Kepadanya, Ali menyampaikan pesan Rasul dan mengambil alih amanat ayat itu untuk dibacakan di hadapan semua orang di musim haji.
Abu Bakar kembali ke Madinah dan mendatangi Rasul untuk menanyakan hal ini. Kepadanya Rasul bersabda, Allah telah mengutus Jibril kepadaku dan menyatakan bahwa hanya aku atau orang yang berasal dariku-lah yang berhak membacakan ayat baraah di Mekah. Dan orang itu adalah Ali.”
Dengan dibacakannya ayat-ayat suci tersebut di hadapan seluruh jemaah yang hadir pada musim haji saat itu, orang-orang kafir tidak lagi berhak memasuki komplek masjidil haram.
Hajjatul Wada' atau Haji Perpisahan
Tahun ke sepuluh hijriyah, Rasulullah SAW bersama sekitar seratus ribu sahabatnya yang berasal dari berbagai penjuru Jazirah Arabia melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini disebut dalam sejarah sebagai hajjatul wada’ atau hari perpisahan. Sebab, sepulangnya dari perjalanan haji, Rasulullah SAW jatuh sakit yang mengakhiri kehidupan beliau yang penuh berkah.
Ibadah haji ini menjadi momen yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Karena, umat menyaksikan tata cara ibadah haji yang diajarkan dalam agama Islam secara langsung dari pembawa risalah kenabian. Umat Islam melihat sendiri bagaimana Nabi bertawaf, sa’i, wukuf di padang Arafat, tinggal di mina, menyembelih korban dan memotong rambutnya.
Pada kesempatan itu, Nabi juga menyampaikan sebuah khotbah bersejarah yang menjelaskan segala permasalahan dalam Islam. Beliau mengingatkan kembali soal tauhid, ibadah, akhlak, sikap saling membantu antar sesama dan banyak hal lainnya.
Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, Rasulullah SAW dan para jemaah haji lainnya meninggalkan kota Mekah menuju kampung halaman masing-masing. Di tengah perjalanan, saat tiba di suatu tempat persimpangan, Nabi SAW mendapat wahyu yang berbunyi,
Ya ayyuhar rasul balligh ma unzila ilaika….
Artinya, Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan dari Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau sampaikan, berarti engkau sama saja tidak pernah menyampaikan risalahNya. Allah melindungimu dari umat manusia.
Nabi lantas memerintahkan rombongannya untuk berhenti di suatu tempat bernama Ghadir Khum. Mereka yang sudah lewat diperintahkan untuk kembali dan mereka yang belum sampai ditunggu kedatangannya. Ada satu hal penting yang ingin beliau sampaikan kepada umat. Hari itu adalah tanggal 18 Dzulhijjah tahun 10 hijriyah.
Ketika semua orang telah berkumpul, Nabi SAW berdiri di hadapan para sahabatnya yang menyemut memenuhi padang tandus Ghadir Khum. Beliau ingin menyampaikan sebuah pesan penting dari Tuhan. Setelah mengucapkan puji-pujian syukur kepada Allah swt dan menyampaikan beberapa hal, beliau bersabda, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya pula.”
Sabda Nabi SAW ini didengar langsung oeh sekitar seratus ribu muslimin di Ghadir Khum. Pesan penting ini, memiliki arti bahwa Ali-lah yang akan menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat sepeninggal beliau. Karenanya, setelah menyampaikan pesan ini, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya untuk membaiat Ali. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Ghadir Khum. 
Pembersihan Jazirah Arabia dari kekuatan Yahudi dan penaklukan kota Mekah serta pembersihan Masjidil Haram dari sisa-sisa adat jahiliyah adalah hasil perjuangan Nabi SAW selama lebih dari 20 tahun menyebarkan agama Islam dan menyampaikan risalah kenabian terakhir ini. Sejak jatuhnya kota Mekah ke tangan umat Islam, kaum muslimin yang dahulu terusir dan terasing berubah menjadi sebuah kekuatan besar yang ditakuti oleh seluruh kabilah Arab. Bahkan Rumawi dan Persia yang merupakan dua kutub kekuatan saat itu sangat memperhitungkan kekuatan umat Islam.
Sepulangnya dari Hajjatul Wada’, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya agar bersiap-siap untuk menyerang pasukan Rumawi di wilayah Syam. Sama seperti perang Tabuk, beliau tidak memperkenankan siapapun juga untuk tidak menyertai pasukan ini kecuali beberapa orang yang beliau tentukan. Panji perang diberikan Rasulullah kepada Usamah bin Zaid yang saat itu masih berusia 17 tahun. Pemilihan Usamah sebagai komandan pasukan ditentang oleh banyak orang yang meragukan kemampuan pemuda ini. Rasulullah yang saat itu sedang sakit keras dengan tegas menyatakan bahwa Usamah layak untuk memimpin pasukan besar kaum muslimin.
Akibat penentangan itu, banyak orang yang terkesan lamban untuk menyertai pasukan besar ini, sampai akhirnya berita memburuknya kondisi kesehatan Nabi SAW sampai ke telinga para sahabatnya. Akhirnya, pada tanggal 28 Shafar tahun 11 hijriyah, Muhammad bin Abdillah, Rasul terakhir dan makhluk Allah yang paling mulia menerima kedatangan malaikat maut. Kepergian penghulu para nabi ini menjadi berita paling mengejutkan dan menyedihkan bagi umat Islam. Rasulullah pergi dari dunia yang fana ini menemui Sang Khalik, setelah menyempurnakan misi risalah kenabian.
                                                            
Sumber : Sejarah Rasulullah SAW  (multiply)

Al qur'an Elektronik